Cerita Anak: Berharganya Sebutir Nasi
Dulu mama saya sering mendongeng sebelum saya tidur, dan dalam post ini saya akan cerita salah satu cerita yang membuat saya terkenang sampai saat ini, dan benar-benar melaksanakannya.
Cerita ini sebenarnya adalah tentang berharganya nasi.
Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa yang sangat makmur, hampir semua warganya berkecukupan. Namun ada satu keluarga, yang hidup serba berkekurangan. Keluarga tersebut hanya bertiga, 1 orang ibu dan 2 orang anak, yang sulung adalah laki-laki berumur 7 tahun dan anak kedua adalah perempuan berumur 5 tahun. Sang Ibu bekerja menjadi pembantu rumah tangga di beberapa rumah.
Pendapatan sang Ibu sebagai pembantu rumah tangga, memanglah tidak banyak, dan sebagian besar habis dalam membiayai sekolah kedua anaknya. Sehingga dalam mencukupi makanan kedua anaknya terkadang susah. Apabila ada uang yang lebih barulah membeli beras untuk makan kedua anaknya.
Suatu ketika sang Ibu baru menyadari dan melihat di selokan rumah majikannya, ada banyak butir nasi yang terbuang. Sang Ibu akhirnya dengan terpaksa memungut nasi tersebut dan membawa pulang nasi tersebut dengan plastik. Sampai di rumah, sang Ibu mencuci kembali nasi yang sudah dia ambil di selokan tersebut sampai bersih. Sang Ibu mencuci berkali-kali dengan air nasi tersebut. Dan sudah yakin bersih, kemudian nasi tersebut dijemur. Nasi tersebut apabila sudah kering, dicampurkan dengan air kembali, dan ditanak kembali, namun dicampurkan dengan parutan singkong. Dan itu menjadi makanan mereka sekeluarga dalam beberapa waktu.
Setiap hari sang Ibu melakukan hal tersebut apabila dia melihat ada nasi yang terbuang, biarpun cuma sebutir nasi yang terbuang. Nasi tersebut dihargai, dan diperlakukan selayaknya makanan yang sangat berharga, yang mana buat mereka sekeluarga itu adalah memang barang yang sangat berharga. Ibu itu terus menerus mengumpulkan nasi-nasi yang tercecer, dan membersihkannya, kemudian menjemurnya. Hal itu terus menerus dilakukan, sehingga nasi hasil olah ulang tersebut terkumpul menjadi banyak. Sang Ibu, akhirnya menyimpannya ke dalam karung kecil, yang disimpan di dalam rumahnya. Lama-kelamaan, nasi yang disimpan oleh sang Ibu menjadi semakin banyak dan semakin banyak. Mereka sekeluarga tidak kekurangan dalam hal makanan lagi.
Tanpa diduga, terjadi musibah kegagalan panen di daerah tersebut, yang dilanjutkan kekeringan serta hama menyerang hampir semua bahan makanan di daerah tersebut. Dalam sekian waktu, cadangan makanan para warga semakin berkurang. Kepanikan terjadi di mana-mana. Bencana kelaparan tidak bisa dihindari.
Keluarga kecil tersebut berusaha membantu para warga di desa tersebut, dengan mengeluarkan stok nasi olahan yang sudah dia kumpulkan sekian lama. Warga desa bisa bertahan beberapa waktu dengan mengandalkan nasi dari keluarga kecil tersebut. Warga desa mencoba bercocok tanam kembali, dan desa tersebut selamat waktu masa panen tiba di desa tersebut. Warga desa tersebut setelah peristiwa tersebut tidak pernah menyisakan makanan sedikitpun, walaupun “hanya” sebutir nasi.
========================================================================
Cerita dari mama saya tersebut begitu berbekas sampai saat ini pada diri saya. Apabila kita melihat cerita tersebut, mungkin ada beberapa bagian yang kurang masuk akal sehat dan banyak pertanyaan dalam diri kita. Point yang coba saya share dari cerita ini adalah bagaimana kita harus menghargai makanan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita, tidak menyia-nyiakan walau hanya satu butir nasi.
Apabila menghargai dan bersyukur berkat Tuhan melalui makanan saja kita tidak bisa, bagaimana kita menghargai hal lain? Cara kita bersyukur adalah cara kita untuk menunjukkan bagaimana kita menjalani hidup kita di dunia.